Hayal dan Aku

Siang itu, awan keabuan menggelayut malas di langit sebelah barat. Sedang di timur, langit masih cerah, kulihat di sana ada gumpalan-gumpalan awan yang terlihat seperti sekawanan domba yang berjalan di padang rumput berwarna biru.
Aku tersenyum, membayangkan bagaimana jika itu memang benar sekawanan domba yang sedang bekejaran dan bercanda? Ah, otakku memang penuh fantasi. Mana mungkin itu domba. Tak mungkin juga domba bisa terbang. Sudahlah. Mari kembali ke kenyataan.
Siang itu, hujan justru turun merata tanpa diduga. Sial. Aku terjebak di sini. Jebakan hujan yang selalu saja membuatku menjadi seseorang yang penuh hayal. Fantasiku menari, membayangkan kejadian-kejadian manis yang mungkin terjadi. Seseorang menyapaku, kemudian mengajakku menyebrang jalan bersama dengan ditutupi jaketnya, misalnya. Tapi itu terlalu klasik. Aku tersenyum geli.
Tak lama aku berdiri, seseorang menyapaku, lalu mengajakku duduk bersama ditemani secangkir kopi hangat atau semangkuk sup daging dengan asap yang masih mengepul. Ah, itu hayalan akibat dari perutku yang lapar. Aku tersenyum sedih kali ini. Kenapa hal-hal manis yang terjadi padaku hanya hayalan? Sial sekali bukan? Aku tersenyum lagi.
Seseorang melihatku dengan tatapan penuh selidik. Mengapa aku tersenyum sendiri? Mungkin seperti itu gerutu dalam hatinya. Aku tak peduli.
Kupandangi jalanan yang sekarang cukup lengang. Terlihat dua siswa yang berlarian menuju warung kecil terdekat di pinggir jalan sambil tertawa-tawa, yang membuat rok dan celana mereka basah dan penuh cipratan lumpur. Cukup lucu, jika mereka mengenangnya nanti saat sudah tidak lagi berpacaran. Memangnya sekarang mereka berpacaran? Bukankah aku tidak tau apa-apa tentang mereka? Aku berpikir kejauhan. Lagi-lagi, aku terbawa imajinasi.
Tiba-tiba, sesorang berdiri di sebelahku. Sepertinya aku mengenalnya, tetapi aku tidak mau melihat ke arahnya. Takut salah orang, pikirku.
"Hai," sapanya.
Benar! Suara itu. Suara khasnya. Aku mempersiapkan diri sebelum membalas sapaannya.
"Umm, hai. Maksudku halo," aku menengok sambil nyengir kuda. Tak berhasil menata kata. Gugup sekali rasanya.
"Sedang apa di sini?" Tanyaku berusaha membiaskan kekakuan ini, walaupun aku tau itu pertanyaan bodoh. Terjebak di teras toko buku, sedang apa lagi kalau bukan menunggu hujan reda. Ada beberapa orang juga yang sedang melakukan hal yang sama termasuk aku. Aduh. Memang bodoh.
"Apalagi?" Dia mengangkat tangan sambil memberikan kode bahwa sedang hujan.
"Iya," aku tersenyum padanya.
Bodoh sekali. Bukannya mencairkan suasana, pertanyaan itu semakin menjelaskan bahwa aku gugup.
"Kamu suka novel, ya?" Dia memecah suara hujan yang sedang deras-derasnya.
Kulihat bukannya hujan mereda, langit malah terlihat abu-abu sejauh bentangan mata. Seperti padang rumput hijau yang terbakar habis.
"Biasa saja." Jawabku, aku lebih suka kamu, lanjutku dalam hati sambil menahan senyum merasa jijik sendiri dengan gombalanku.
"Hmmm... Kupikir kamu suka. Akan seru nantinya kalau di rumah ada koleksi komik kesukaanku dan beberapa novel milikmu."
"Maksud kamu?" Aku menebak-nebak. Sepertinya dia memberi kode bahwa .... Ah, kejauhan.
"Iya, komik koleksiku ditambah dengan sumbangan novel darimu untuk melengkapi rak buku. Pas kan?" Dia menjawab datar.
"Iya," aku menjawab tak kalah datar.
Hujan sudah tinggal gerimis. Tak terasa, hanya membicarakan kesukaan terhadap buku, waktuku dengannya habis begitu saja. Waktu-waktu dengannya selalu terasa singkat. Selalu terasa lebih pendek. Dan yang pasti, selalu dalam hayalan. 
Aku kecewa sendirian. Terbangun untuk kenyataan, sering kali tidak asyik. Selang beberapa detik, aku menyebrang jalan, lalu pulang. Sendirian.


Senin, 27 Jan 2020 Belum editing
23:51

Komentar