Di satu tempat dalam ragamnya dunia, yang ikut tersinari hangatnya mentari, cinta bisa tumbuh subur dalam hati pemilik semangat muda yang masih dalam pencarian jati diri. Di tempat itu, cerita kami bermula.
Suatu pertemuan dalam keadaan diriku yang tak sempurna, dan dia pun tak berbeda. Jarak dan waktu membuat mata saling menemukan satu sama lain dalam kesempatan yang sesuai dengan catatan takdir-Nya. Kami berjalan beriring dengan waktu yang sama, jarak yang tak jauh memisah, tunduk mengikuti alur yang telah tergores di lauhul mahfuzh.
Andaikata kami adalah siput, mungkin kami akan senantiasa berada dalam cangkang masing-masing untuk mengurung diri karena malu. Tapi takdir berkata lain, kami ditakdirkan untuk tidak menjadi siput. Tanpa pernah sekalipun meminta, kami lahir sebagai bayi anak Adam yang tak bercangkang. Sehingga kami hanya diam menanggapi gejolak rasa yang seakan mampu meruntuhkan hati. Diam, untuk mempertahankan susunan hati yang tak beraturan.
Kami saling diam, diam, dan diam. Berlagak mengerti tentang perasaan yang tengah tumbuh, meski tanpa kata-kata. "Karena cinta mampu menjelaskan, meski ia tak terucap," demikian kami berasumsi.
Detik berganti menit, menit berganti jam, jam berganti hari, hari berganti minggu, minggu berganti bulan, dan bulan terbilang tahun. Tak terasa jalannya waktu yang berlalu begitu cepat. Kami masih menjalani cerita ini dalam hati, dalam hayal, dalam lamun, dalam mimpi, dan hanya terurai dalam lembaran-lembaran kertas tak berarti. Begitu lamanya kami saling diam, berbagi dalam hayal, komunikasi lewat hati (dalam mimpi), berpandang jauh, saling senyum tak tertuju, dan diam. Sekali lagi, yang nyata terlihat di antara kami hanya diam, kosong, hampa, dan tak ada apapun. Benar-benar diam dengan rasa kepedulian yang senantiasa terpendam.
Inilah persahabatan kami. Cinta yang tumbuh tak lantas membuat kami bisa bersama. Bukan, bukan karena kami bodoh sehingga menyiksa diri dengan memendam perasaan yang membuat sesaknya napas, atau dengan membiarkan rindu menyayat hati dalam malam-malam panjang yang sepi. Ini lebih karena ingin menjadikan cinta sebagai jembatan menuju ridha-Nya, dengan menjaga fitrahnya sebagai rasa yang harus diadilkan.
Cinta ini hanya terkisah sebagai persahabatan. Kami bersahabat dengan cinta. Dan tentu, masih dalam diam kebekuan.
Hanya diam yang menghias cerita kami. Mungkin tak seindah kisah cinta Qais-Laila, Romeo-Juliet, Aladin-Jasmin, Jack-Rose, Tarzan-Jane, ataupun sederet cerita cinta indah lainnya. Tapi kuharap, kisah kami akan menjadi dongeng indah untuk dikenang kala hujan turun dengan gemerciknya.
Aku tak berharap kelanjutan kisah yang -sebenarnya- tak pernah disadari permulannya ini. Akan kubiarkan tangan takdir merajut kembali benang kehidupan yang masih tersisa. Bukan dengan jalan penyatuan.*
Cirebon, 21 November 2016
*Catatan masa lalu, 05 April 20**
Komentar
Posting Komentar